Selasa, 12 Mei 2015

MEMODIFIKASI ALAT PENJAS



SOLUSI YANG HARUS DI LAKUKAN
JIKA TIDAK ADA ALAT PEMBELAJARAN
Materi Pembelajaran : Perkembangan Motorik
Oleh : Ma’rif Azizan IV G
A.PENDAHULUAN          
Seringkali seorang guru Pendidikan Jasmani atau penjas mengeluhkan keadaan sarana dan prasarana sekolah tempat ia mengajar tidak adanya alat pembelajaran. Terkadang, seorang guru penjas harus “bertengkar” dengan kepala sekolah atau kepsek untuk menyediakan fasilitas olahraga di sekolah. Sementara menurut pemikiran sebagian orang, pelajaran penjas tidak begitu penting, mengingat pelajaran tersebut tidak masuk dalam ujian nasional (UN) atau ujian akhir berstandar nasional (UASBN). Jadilah pelajaran penjas menjadi “anak tiri” di sekolah, sehingga kurang mendapat perhatian yang serius.Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang peran sentral pelajaran penjas dalam mendukung proses pendidikan secara menyeluruh. Tulisan ini lebih menekankan peran guru penjas, agar lebih kreatif dan inovatif untuk memodifikasi pembelajaran penjas dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana serta kurangnya/tidak tersedianya alat pembelajaran yang dimiliki sekolah.
Harus disadari bahwa keterbatasan alat pembelajaran olahraga di sekolah sangat bervariasi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Jika sekolah memiliki fasilitas olahraga yang lengkap, sudah tentu tidak menjadi persoalan bagi sang guru. Masalahnya, kita masih menemukan sekolah dengan sarana dan prasarananya yang sangat terbatas.
Menurut Undang-undang Sistem Keolahragaan Naional (UU SKN) No. 3 Tahun 2005 pasal 20 dan 21 Sarana olahraga adalah peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk kegiatan olahraga. Sementara prasarana olahraga adalah tempat atau ruang termasuk lingkungan yang digunakan untuk kegiatan olahraga dan/ atau penyelenggaraan keolahragaan. Berdasarkan UU SKN tersebut dapat dijelaskan bahwa sarana meliputi peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan seperti bola kaki, bola voli, bola kasti, bola takraw, bola basket, papan pantul ring basket, tiang voli beserta netnya, raket bulu tangkis beserta netnya, meja tenis meja beserta betnya, tongkat estafet, peluru untuk tolak peluru, lembing, bak lompat jauh, gawang futsal, matras dan peralatan lainnya. Sementara prasarana meliputi ruangan atau lapangan yang dapat digunakan untuk melakukan aktifitas olahraga yang akan dilakukan.
Berikut ini akan di jelaskan mengenai modifikasi pembelajaran yang dapat di jadikan solusi untuk mengatasi tidak adanya alat pembelajaran serta tidak tersedianya sarana dan prasarana:
B.PEMBAHASAN
MODIFIKASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI
            Modifikasi pembelajaran pendidikan jasmani penulis anggap penting untuk diketahui oleh para guru pendidikan jasmani. Diharapkan dengan mereka dapat menjelaskan pengertian dan konsep modifikasi, menyebutkan apa yang dimodifikasi dan bagaimana cara memodifikasinya, menyebutkan dan menerangkan beberapa aspek analisis modifikasi.
Dalam penyelenggaraan program pendidikan jasmani hendaknya mencerminkan karakteristik program pendidikan jasmani itu sendiri, yaitu “ Developentally Appropriate Practice” (DAP). Artinya bahwa tugas ajar yang disampaikan harus memerhatikan perubahan kemampuan atau kondisi anak, dan dapat membantu mendorong kea rah perubahan tersebut. Dengan demikian tugas ajar tersebut harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan tingkat kematangan anak didik yang diajarnya. Perkembangan atau kematangan yang dimaksud mencakup fisik, psikis maupun keterampilannya.
Tugas ajar itu juga harus mampu mengakomodasi setiap perubahan dan perbedaan karakteristik individu dan mendorongnya kea rah perubahan yang lebih baik.
a. Pernahkah anda membayangkan apakah kita mampu mengakomodasi setiap perubahan
dan perbedaan karakteristik siswa melalui tugas ajar yang kita berikan ?
b. Apakah keadaan media pembelajaran yang dimiliki sekolah anda bias memfasilitasi
aktivitas pembelajaran pendidikan jasmani secara optimal ?
c. Perlukah kita mengadakan perubahan, penataan atau mengembangkan kemampuan daya
dukung pendidikan jasmani di sekolah kita ?
d. Upaya apa yang bias kita lakukan agar proses pembelajaran pendidikan jasmani
tersebut bisa memberikan hasil yang lebih baik ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sering muncul manakala kita merenungi tugas kita sebagai seorang guru pendidikan jasmani yang cukup berat.
KONSEP MODIFIKASI
            Modifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh para guru agar proses pembelajaran dapat mencerminkan DAP. Esensi modifikasi adalah menganalisis sekaligus mengembangkan materi pelajaran dengan cara meruntunkannya dalam bentuk aktivitas belajar yang potensial sehingga dapat memperlancar siswa dalam belajarnya.
            Cara ini dimaksudkan untuk menuntun, mengarahkan, dan membelajarkan siswa yang tadinya tidak bisa menjadi bisa, yang tadinya kurang terampil menjadi lebih terampil. Cara-cara guru memodifikasi pembelajaran akan tercermin dari aktivitas pembelajarannya yang diberikan guru mulai awal hingga akhir pelajaran. Selanjutnya guru-guru pendidikan jasmani juga harus mengetahui apa saja yang bisa dan harus dimodifikasi serta tahu bagaimana cara memodifikasinya. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan berikut harus dipahami dengan sebaik-baiknya.
a. Apa yang dimodifikasi ?
            Beberapa aspek analisis modifikasi ini tidak terlepas dari pengetahuan guru tentang tujuan,karakteristik materi, kondisi lingkungan, dan evaluasinya.
            Disamping pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang tujuan, karakteristik, materi, kondisi lingkungan, dan evaluasi, keadaan sarana, prasarana dan media pengajaran pendidikan jasmani yang dimiliki oleh sekolah akan mewarnai kegiatan pembelajaran itu sendiri.
Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari yang paling dirasakan oleh para guru pendidikan jasmani adalah hal-hal yang berkaitan dengan sarana serta prasarana pendidikan jasmani yang merupakan media pembelajaran pendidikan jasmani sangat diperlukan.
            Minimnya sarana dan prasarana pendidikan jasmani yang dimiliki sekolah-sekolah, menuntut seorang guru pendidikan jasmani untuk lebih kreatif dalam memberdayakan dan mengoptimalkan penggunaan sarana dan prasarana yang ada. Seorang guru pendidikan jasmani yang kreatif akan mampu menciptakan sesuatu yang baru, atau memodifikasi yang sudah ada tetapi disajikan dengan cara yang semenarik mungkin, sehingga anak didik akan merasa senang mengikuti pelajaran penjas yang diberikan. Banyak hal-hal sederhana yang dapat dilakukan oleh guru pendidikan jasmani untuk kelancaran jalannya pendidikan jasmani.
            Guru pendidikan jasmani di lapangan tahu dan sadar akan kemampuannya. Namun apakah mereka memiliki keberanian untuk melakukan perubahan atau pengembangan – pengembangan kea rah itu dengan melakukan modifikasi ?
            Seperti halnya halaman sekolah, taman, ruangan kosong, parit, selokan dan sebagainya yang ada dilingkungan sekolah, sebenarnya dapat direkayasa dan dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani.
Dengan melakukan modifikasi sarana maupun prasarana, tidak akan mengurangi aktivitas siswa dalam melaksanakan pelajaran pendidikan jasmani. Bahkan sebaliknya, karena siswa bisa difasilitasi untuk lebih banyak bergerak, melalui pendekatan bermain dalam suasana riang gembira. Jangan lupa bahwa kata kunci pendidikan jasmani adalah “Bermain – bergerak – ceria”.
b. Mengapa Dimodifikasi ?
Lutan (1988) menyatakan : modifikasi dalam mata pelajaran pendidikan jasmani diperlukan, dengan tujuan agar :
a) Siswa memperoleh kepuasan dalam mengikuti pelajaran
b) Meningkatkan kemungkinan keberhasilan dalam berpartisipasi
c) Siswa dapat melakukan pola gerak secara benar.
Pendekatan modifikasi ini dimaksudkan agar materi yang ada dalam kurikulum dapat disajikan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik anak.
Menurut Aussie (1996), pengembangan modifikasi di Australia dilakukan dengan pertimbangan:
a) Anak-anak belum memiliki kematangan fisik dan emosional seperti orang dewasa;
b) Berolahraga dengan peralatan dan peraturan yang dimodifikasi akan mengurangi
cedera pada anak;
c) Olahraga yang dimodifikasi akan mampu mengembangkan keterampilan anak lebih cepat
dibanding dengan peralatan standar untuk orang dewasa, dan
d) Olahraga yang dimodifikasi menumbuhkan kegembiraan dan kesenangan pada anak-anak
dalam situasi kompetitif.
            Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa pendekatan modifikasi dapat digunakan sebagai suatu alternatif dalam pembelajaran pendidikan jasmani, oleh karenanya pendekatan ini mempertimbangkan tahap-tahap perkembangan dan karakteristik anak, sehingga anak akan mengikuti pelajaran pendidikan jasmani dengan senang dan gembira.
BENTUK-BENTUK MODIFIKASI DALAM PENJAS
Pertama, kita membahas modifikasi peraturan permainan olahraga yang telah banyak dilakukan guru-guru penjas, bahkan telah dipertandingkan antar sekolah. Misalnya sepak bola menjadi sepakbola mini, bola voli menjadi bola voli mini, bola basket menjadi bola basket mini, tenis menjadi tenis mini dan nomor-nomor pada cabang olahraga atletik seperti nomot sprint 100 meter menjadi 60 meter, lempar lembing diganti dengan lempar roket, sepak takraw diganti dengan kenchi/ bulu ayam, dan nomor-nomor atletik yang digabung-gabung menjadi tri-lomba (lari sprint, lompat kodok 3x dan lempar roket).
Kedua, modifikasi olahraga tradisional/ rakyat yang kurang mendapat perhatian serius atau terabaikan oleh guru-guru penjas. Banyak jenis olahraga tradisional yang sangat mengasyikkan bagi siswa, seperti galasin/ gerobak sodor/ galah panjang, pecah piring, enggrang, permainan karet, gotri, sambar elang, lari goni, lari guli, terompah bajak, alip berondok, kuda tunggang, batu locak dan lain sebagainya. Kesemua jenis permainan olahraga tradisional ini tetap memiliki dan mengarah pada peningkatan aspek physical conditioning siswa, seperti kecepatan, kekuatan, daya tahan, kelincahan, kelentukan, keseimbangan, daya ledak dan ketepatan. Bukankan hakikat pembelajaran pendidikan jasmani meningkatkan kebugaran siswa?
Ketiga, melakukan kegiatan aktivitas outbound yang yang lagi trend saat ini, dan sudah mulai dilaksanakan oleh beberapa sekolajh. Kita tidak perlu melakukan aktivitas outbound ke lokasi wisata yang jauh dari sekolah, sehingga menguras keuangan siswa. Karena aktivitas outbound dapat juga dilakukan di lokasi sekolah dan yang pasti tidak kalah serunya dengan lokasi wisata. Jenis-jenis aktivitas outbound yang dapat dilakukan di sekolah seperti field trap, water fall, blind army, happy king, moving carpet, borgol hands, hole trap, step with stone, dragon ball, mendulang emas, ban titian, pasak bumi, botol ajaib, tali kubus, bola bisu, lari lambat, panjang-panjangan, bangku bisu, transfer air, pipa bocor dan jenis lainnya. Sesekali jika memungkinkan, siswa dapat diajak ke alam bebas untuk memainkannya serta ditambah dengan aktivitas low and high rope yang lebih menantang, seperti flying fox, rafling, titian dewa, rafting, dan tracking
Keempat, upaya guru penjas menciptakan olahraga baru yang relevan dengan tujuan pembelajaran penjas. Walau terasa cukup berat, namun bukan mustahil guru-guru penjas dapat menciptakan olahraga baru yang lebih kreatif lagi. Saat ini telah banyak guru-guru penjas yang membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi, seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) Penjas, Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (Isori) dan banyak perkumpulan lainnya. Perkumpulan-perkumpulan guru penjas ini telah bergera melakukan pembahasan-pembahasan dan pemutakhiran model pembelajaran penjas. Diharapkan langkah tepat yang sudah dilakukan dapat di follow-up lagi untuk mewujudkan penciptaan jenis olahraga baru. Kenapa tak mungkin?
Sudah saatnya guru penjas berhenti mengeluhkan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada. Jangan sampai, guru penjas melakukan aksi memusuhi kepala sekolah, hanya karena penolakan-penolakan atas proposal penyediaan sarana dan prasarana yang kita tawarkan. Sekali lagi, guru penjas tidak boleh menyerah dengan kondisi sekolah yang serba terbatas. Karena selama kita berfikir maka eksistensi dan kreativitas kita akan selalu ada. Yakinlah bahwa pelajaran penjas bukanlah pelajaran yang menjadi “anak tiri“ di sekolah. Karena selagi murid masih bersorak gembira atas kehadiran kita untuk membawakan pelajaran penjas, itu artinya menjadi tantangan bagi kita untuk menyahuti keinginan bermain para siswa.
C.KESIMPULAN
Tidak tersedianya alat pembelajaran tidaklah menjadi alas an guru penjas dalam mengajar. Guru penjas dituntut kreatif dan inovatif untuk mengatasi hal tersebut. Salah satu hal yang dapat di lakukan salah satu diantaranya adalah melakukan modifikasi pembelajaran

Minggu, 10 Mei 2015

Penelitian Tindakan kelas



JUDUL :
PENERAPAN MODEL LATIHAN DRILL UNTUK MENINGKATKAN PEMBELAJARAN PASSING (MENGOPER) FUTSAL
PADA SISWA KELAS VIII SMP N 1 KANDANGHAUR - INDRAMAYU
Mata Kuliah : Penelitian Tindakan kelas
Oleh : Ma'rif Azizan VI G
A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Upaya meningkatkan keterampilan bermain futsal, siswa harus menguasai macam-macam teknik dasar bermain futsal. Kemampuan siswa menguasai teknik dasar bermain futsal dapat mendukung dalam bermain futsal baik secara individu maupun kolektif. Maka bagi para pemain pemula (siswa sekolah) harus dilatih secara baik dan benar. Menendang bola merupakan salah satu teknik dasar bermain futsal yang memiliki kontribusi besar dalam permainan futsal. Hampir seluruh permainan futsal dilakukan dengan menendang bola. Besarnya kontribusi menendang bola dalam permainan futsal, maka perlu diajarkan kepada siswa sekolah.
Melakukan passing dengan baik dan tepat pada sasaran bagi siswa sekolah bukan merupakan hal yang mudah. Bagi siswa pemula sering kali dalam melakukan passing tidak tepat pada sasaran yang diinginkan, bahkan tidak menutup kemungkinan bolanya melambung tinggi. Kondisi yang demikian akan merugikan timnya, karena bola mudah dikuasai oleh lawan. Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi saat melakukan passing, salah satu faktor penyebabnya adalah belum menguasai teknik menendang bola yang benar. Agar para siswa dapat menguasai teknik menendang yang benar, dibutuhkan cara belajar yang baik dan tepat yaitu dengan pendekatan latihan (drill) dan pendekatan bermain.
Metode drill adalah suatu cara mengajar dimana siswa melaksanakan kegiatan-kegiatan latihan agar memiliki ketangkasan atau keterampilan yang lebih tinggi dari apa yang dipelajari. Dalam buku Nana Sudjana (1991), metode drill adalah suatu kegiatan melakukan hal yang sama, berulang-ulang secara sungguh-sungguh dengan tujuan untuk memperkuat suatu asosiasi atau menyempurnakan suatu keterampilan agar menjadi bersifat permanen. Ciri yang khas dari metode ini adalah kegiatan berupa pengulangan yang berkali-kali dari suatu hal yang sama.
Dengan demikian terbentuklah pengetahuan-siap atau ketrampilan-siap yang setiap saat siap untuk di pergunakan oleh yang bersangkutan. Bentuk-bentuk metode drill dapat direalisasikan dalam berbagai bentuk teknik, antara lain teknik Inquiry (kerja kelompok), Discovery (penemuan), Micro Teaching, Modul Belajar, dan Belajar Mandiri.
Tujuan penggunaan metode drill adalah agar siswa:
1.      Memiliki kemampuan motoris/gerak, seperti menghafalakan kata-kata, menulis, mempergunakan alat.
2.      Memiliki kemampuan menghubungkan antara sesuatu keadaan dengan yang lain.
“ Ciri khas dari metode ini (metode drill) adalah kegiatan yang berupa pengulangan yang berkali-kali supaya asosiasi stimulus dan respons menjadi sangat kuat dan tidak mudah untuk dilupakan. Dengan demikian terbentuklah sebuah keterampilan (pengetahuan) yang setiap saat siap untuk dipergunakan oleh yang bersangkutan ” (Abdul Rahman Shaleh, 2006: 203)
Penerapan metode drill dalam pembelajaran hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip dan Sebelum diadakan latihan tertentu, terlebih dahulu siswa harus diberi pengertian yang mendalam. Latihan untuk pertama kalinya hendaknya bersikap diagnostik:
1)      Pada taraf permulaan jangan diharapkan reproduksi yang sempurna.
Dalam pembelajaran passing (mengoper) ada pemakluman jika si peserta didik masih kurang sempurna atau mengaplikasikannya tidak maksimal.
2)      Dalam percobaan kembali harus diteliti kesulitan yang timbul.
Harus ada penelitian ulang ketika yang diteliti ada kesulitan seperti siswa yang mengoper (passing) bola dengan ujung kaki, seharusnya menggunakan kaki bagian dalam.
3)      Respon yang benar harus diperkuat.
Pembelajaran yang diajakan oleh pengajaran harus ada respon yang diperkuat pada peserta didik, seperti memberi perhatian dan pujian ketika melakukan passing yang bagus maupun kurang bagus.


4)      Baru kemudian diadakan variasi, perkembangan arti dan kontrol
Diadakan variasi agar peserta didik tidak jenuh dan cepat bosen seperti menedang bola ketembok kemudian kombinasi permainan kucing – kucingan intinya untuk perkembangan arti dan kontrol.
    Masa latihan secara relatif singkat, tetapi harus sering dilakukan. Pada waktu latihan harus dilakukan proses essensial. Di dalam latihan yang pertama-tama adalah ketepatan, kecepatan dan pada akhirnya kedua-duanya harus dapat tercapai sebagai kesatuan. Latihan harus memiliki arti dalam rangka tingkah laku yang lebih luas.
1)  Sebelum melaksanakan, siswa perlu mengetahui terlebih dahulu arti latihan itu.
2)  Ia perlu menyadari bahwa latihan-latihan itu berguna untuk kehidupan selanjutnya.
3) Ia perlu mempunyai sikap bahwa latihan-latihan itu diperlukan untuk melengkapi belajar
B.     PERMASALAHAN : 5 W + 1 H
Apa penerapan latihan (drill) dapat berpengaruh terhadap pembelajaran passing (mengoper) dalam olahraga futsal?
C.     CARA PEMECAHAN MASALAH
Cara pemecahan masalah yang akan digunakan dalam PTK ini, yaitu penerapan   Latihan drill (Berkelanjutan). Dengan penerapan ini, diharapkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran teknik Olahraga Passing Futsal akan meningkat.
D.    TUJUAN DAN MANFAAT PTK
Tujuan PTK :
-          Untuk mengetahui apakah latihan pendekatan bermain dapat meningkatkan kemampuan passing siswa kelas VIII dalam olahraga futsal.
Manfaat PTK :
-          Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan di bidang olahraga khususnya dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa di pembelajaran Olahraga Futsal. Penelitian ini juga berguna:
1.      Bagi Penulis
Merupakan alat untuk mengembangkan diri sebagai guru yang professional.

2.      Bagi Siswa
-          Meningkatnya aktivitas siswa dalam pembelajarn Olahraga.
-          Meningkatnya kebugara siswa.
-          Optimalnya potensi otak kanan dan kiri para siswa.
3.      Bagi Guru Olahraga dan guru lainnya 
-          Guru lebih kreatif dalam mengelola pembelajaran Olahraga
-          Dapat menjadi bahan acuan dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran dengan media dan model pengelompokkan yang tepat.
4.      Bagi Sekolah
-          Memotivasi sekolah untuk lebih meningkatkan layanan terhadap peningkatan mutu para guru di SMP Negeri 1 Kandanghaur.
E.     KERANGKA TEORITIS & HIPOTESIS :
Kerangka Teoritis :
Mengajar adalah perbuatan yang kompleks. Perbuatan yang kompleks dapat diterjemahkan sebagai penggunaan sejumlah komponen secara integatif yang terkandung dalam perbuatan mengajar itu untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Pada dasarnya belajar bagi seseorang merupakan hasil interaksi antara berbagai fakor yang saling mempengaruhi baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang memberi masukan dan motivasi terhadap seseorang yang berasal dari dalam dirinya sendiri, seperti minat, bakat dan kebiasaan belajar dll. Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor yang datang dari luar individu tersebut, seperti lingkungan dan kelengkapan sumber belajar dll.
Minat juga mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa, disamping itu guru juga harus mempunyai kreatifitas yang tinggi agar siswa mampu termotivasi dalam pembelajaran. Apabila siswa tidak berminat untuk mempelajari sesuatu maka hasil belajarnya tidak akan maksimal, sebaliknya jika siswa mempelajari sesuatu dengan penuh minat, maka dapat dipastikan proses dan hasil belajar akan lebih maksimal. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi minat siswa dalam pembelajaran, seperti materi ajar, sarana prasarana, model pembelajaran yang digunakan dll. Untuk materi ajar biasanya siswa lebih menyukai materi materi yang mengandung permainan, kekompakan, kerjasama dan kompetisi. Sarana prasarana juga sangat mempengaruhi minat belajar siswa, karena jika di suatu sekolah yang mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana, siswa akan bertindak kreatif dan selalu termotivasi untuk melakukan suatu kegiatan belajarnya. Dalam konteks pembelajaran, model adalah suatau penyajian fisik atau konseptual dari system pembelajaran, serta berupaya menjelaskan keterkaitan berbagai komponen system pembelajaran kedalam suatu pola/kerangka pemikiran yang disajikan secara utuh.
Sedangkan model pembelajaran menurut joyce and weil, 1992) adalah perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dikelas atau pembelajaran dalam tutorial untuk menentukan perangkat perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku buku, film, computer, kurikulum dll. Untuk model pembelajaran mempunyai pengaruh yang kuat terhadap minat belajar siswa karena siswa akan lebih tertarik dengan model pembelajaran yang bervariasi. Dalam prakteknya, yang harus diingat guru adalah tidak ada model pembelajaran yang paling terbaik, namun model pembelajaran yang paling tepat dan cocok diterapkan dalam pembelajaran. Model pembelajaran akan menjadi tepat jika memperhatikan kondisi siswa, sifat materi dan bahan ajar, fasilitas dan prasarana dan kondisi guru itu sendiri.
Menurut joyce dan Weil (1980) ada beberapa kegunaan dari model pembelajaran :
1. Memperjelas hubungan fungsional diantara berbagai komponen, unsure dan elemen system tertentu.
2. Prosedur yang akan ditempuh dalam melaksanakan kegiatan kegiatan dapat diidentifikasikan secara tepat.
3. Dengan adanya model maka kegiatan yang dicakupnya dapat dikendalikan.
- HIPOTESIS
Adapun hipotesis tindakan yang diajukan adalah sebagai berikut :
Dengan penggunaan model pembelajaran yang terus-menerus (drill) dapat meningkatkan refleks pembelajaran pada anak dan pengetahuan guru tentang pemahaman model model pembelajaran dapat meningkatkan minat belajar siswa dalam pembelajaran penjas.

F.      RENCANA PENELITIAN
Dalam rencana penelitian disini subyek yang akan diteliti adalah siswa kelas VIII SMP NEGERI 1 KANDANGHAUR, Kabupaten Indramayu. Pertimbangan penulis mengambil subyek siswa kelas VIII karena dalam masa ini siswa yang baru masa pubertas masih sangat labil kondisi psikologisnya dan sifat kedewasaan belum begitu tumbuh dan berkembang, jadi jiwa bermainnya masih cukup tinggi (lebih suka bermain), sedangkan disini siswa dihadapkan dengan masalah penerapan model pembelajaran teknik dalam permainan futsal yang dimana model ini menekankan pada penguasaan teknik dasar dan siswa dituntut harus bisa dalam melakukan suatu ketrampilan. Didalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi di SMP NEGERI 1 KANDANGHAUUR, Kabupaten Inramayu. Peneliti mengambil pertimbangan lokasi ini karena peneliti pernah bersekolah di SMP tersebut (Alumni), sehingga memudahkan dalam penelitian.

G.    Jadwal Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk siswa kelas VIII di SMP NEGERI 1 KANDANGHAUR, Kabupaten INDRAMAYU. Penelitian  ini  berlangsung  pada  tanggal  25 April  2015  sampai  dengan  tanggal 26 April 2015.
H.    RENCANA ANGGARAN :

PENDIDIKAN JASMANI HARUSNYA DITANAMKAN SEJAK DINI



JUDUL
PENDIDIKAN JASMANI HARUSNYA
DITANAMKAN SEJAK DINI
Mata Kuliah : Penulisan karya Ilmiah
Oleh :
Ma’rif Azizan VI G
Persoalan yang sangat mendasar dalam  pendidikan jasmani bukanlah semata-mata bagaimana proses meningkatkan efektivitas belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan.  Di dalamnya juga terkandung  beberapa tuntutan perubahan pada domain kognitif, afektif dan psikomotor di tingkat mikro individual.  Efektivitas proses pendidikan dimaksud tidak hanya dipengaruhi oleh aspek fisik, biologis dan psikologisnya saja, tetapi juga dari aspek konteks lingkungan geografis. Itulah sebabnya  penyediaan pengalaman belajar yang mengandung nilai-nilai kependidikan, implimentasi pendekatan dan model pembelajaran yang serasi dengan substansi tugas ajar dan beberapa sumber belajar lainnya.
Permasalahan utama yang dihadapi pendidikan jasmani dewasa ini adalah terjadinya perubahan nilai-nilai budaya.  Perubahan dimaksud berupa kultur gerak.  Menurut Bart Crum (1994) dalam Rusli Lutan (2003:101) ‘movement culture’,  yakni terjadi perubahan kebiasaan aktif bergerak menjadi kebiasaan kurang gerak atau bahkan fenomena gaya hidup diam.  Pergeseran gaya hidup itu,  dipicu oleh aneka kemudahan dalam kehidupan sehari-hari yang di dukung oleh perubahan taraf hidup, penggunaan teknologi komunikasi dan transportasi serba otomatis sehingga di kalangan anak-anak yang fitrahnya sebagai mahluk bermain (homo luden) sangat berkurang dan cenderung menghilangkan aktivitas fisik dalam berbagai kegiatannya.
Berikut dijelaskan mengenai isu pendidikan jasmani yang diterapkan Lingkungan Masyarakat Indonesia :
Isu Ketidak Berhasilan Kurikulum Pendidikan Jasmani
Idealnya keberhasilan kurikulum pendidikan jasmani dapat ditinjau dari terdidiknya seseorang melalui aktivitas jasmani yang disebut dengan istilah physically educated person (PEP). Istilah ini  merujuk kepada standar National Association for Sport and Physical Education (NASPE).    Menurut NASPE (1992); dalam Adang Suherman (2008:11) di Amerika Serikat karakteristik PEP dimaksud adalah :
(a) memiliki beberapa keterampilan melakukan aktivitas fisik.
(b) memiliki kebugaran jasmani yang baik,
(c) dapat berpartisipasi secara teratur melakukan aktivitas jasmani,
(d) mengetahui akibat dan manfaat dari aktivitas jasmani, dan (e) dapat memahami melakukan aktivitas jasmani menjadi hidup sehat.
Isu Kondisi Pendidikan Jasmani Saat Ini
Pendidikan jasmani saat ini terbilang menyedihkan dan bahkan sering dilecehkan. Hal ini diungkapkan Balitbang Diknas (2008:10) yang menyatakan  ‘menjelang ujian akhir di beberapa sekolah, pendidikan jasmani sering tidak dilaksanakan dengan alasan agar para anak tidak terganggu’.  Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Aip Syarifuddin (2002) dalam Balitbang Diknas, (2008:9) yaitu ‘kualitas guru pendidikan jasmani di beberapa sekolah pada umumnya kurang memadai, mereka kurang mampu melaksanakan tugasnya secara professional’.  Kondisi saat ini menunjukkan banyak guru,  ketika membuka pelajaran,  menyuruh anak hanya senam dan lari sebagai bentuk pemanasan.
Kemudian teknik dasar yang diberikan dalam suasana tegang, karena guru pendidikan jasmani dianalogikan sebagai penegak kedisiplinan dan kekerasan di sekolah.  Terkadang anak disuruh melakukan bermain, sementara dia duduk di bawah pohon sambil memegang peluit.  Peristiwa ini telah berlangsung dari waktu ke waktu sehingga tidak terpikir olehnya untuk menciptakan strategi pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan.
Isu Ditinjau Dari Olahraga Prestasi
Performan atlet Indonesia dalam event olahraga internasional seperti ASIAN Games, SEA Games, atau dalam PON dan PORDA akhir-akhir ini sangat mengecewakan.  Rendahnya prestasi olahraga seperti ini, merupakan cerminan ketidakberhasilan pembibitan melalui pendidikan jasmani sejak usia SD. Walaupun disadari pendidikan jasmani tidak bertujuan menciptakan prestasi, tetapi misi utamanya berkontribusi terhadap pembentukan keterampilan dasar berolahraga.  Keadaan ini diperparah lagi oleh sikap stakeholder mengabaikan arti pentingnya pendidikan jasmani di sekolah-sekolah.  Seperti pemberian tugas guru yang tidak berlatar belakang pendidikan jasmani  untuk mengajar.  Kejadian ini apabila dibiarkan terus menerus, maka tidak akan berhasil meletakkan dasar yang kuat bagi olahraga prestasi di tingkat  Nasional.
Isu Ketidak Cukupan Belajar Gerak
Isu ini berkenaan dengan waktu pelaksanaan pendidikan jasmani tidak efektif.  Siedentop, (1980:25) pernah meneliti ‘Academic learning time-physical education (ALT-PE) hasilnya sebagai berikut:
Temuan penelitian Siedentop menegaskan bahwa ALT-PE merupakan acuan waktu keberhasilan anak dalam mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani hanya berkisar 80 % waktu yang efektif. Sisanya terbuang karena terjadi pergantian dalam melakukan tugas gerak.
Kesimpulan yang diperoleh yaitu  ‘penggunaan waktu pembelajaran pendidikan jasmani tidak mencukupi,  banyak waktu habis terbuang digunakan berjalan ke tempat lapangan olahraga, banyak waktu terbuang karena menunggu giliran menggunakan fasilitas dan alat olahraga. Hanya sepertiga  sisa waktu yang dapat digunakan melaksanakan inti pelajaran’.   Berdasarkan hasil penelitian tersebut menyarankan bahwa indikator keberhasilan waktu pendidikan jasmani yang efektif adalah “jumlah waktu aktif berlatih (JWAB) banyak, waktu menunggu giliran sedikit, dan proses pembelajaran melibatkan partisipasi anak dan guru secara aktif”.
Pendidikan jasmani merupakan satu-satunya pelajaran di sekolah yang menggunakan gerak sebagai media pembelajaran.  Dalam kaitan ini, Wuest dan Bucher (1995:97) mengungkapkan,  bahwa “di  Eropa-saat ini menerapkan aktif bergerak minimal 90 menit setiap harinya untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan fisik masyarakatnya”.  
Pendidikan jasmani sedikit sekali mengalami kemajuan yang dicapai dari sisi pengembangan kurikulum. Sebabnya karena sedikit orang yang mau menekuni berbagai disiplin ilmu sebagai landasan pemahaman pendidikan jasmani dan olahraga.  Di sisi lain, kurangnya publikasi hasil penelitian pendidikan jasmani Indonesia ke dalam jurnal nasional maupun internasional.  Kekurangan publikasi seperti inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia masih sebagai konsumen, bukan penghasil ilmu yang tekun. Diperparah lagi oleh ketiadaan bukubuku pendidikan jasmani dan olahraga dengan disiplin ilmu yang mumpuni.  Manakala masalah ini dibiarkan terus menerus, dampak penggiring lainnya munculah masalah rendahnya kebugaran jasmani yang pada akhirnya menimbulkan penyakit hipokinetik, dan berdampak pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan fisik anak. 
Isu Pendidikan Jasmani Mempromosikan Kebugaran Jasmani Anak
Ditegaskan bahwa tujuan utama pendidikan jasmani adalah untuk membantu anak mengembangkan gaya hidup aktif, hidup sehat dan memiliki kebugaran fisik, melalui berbagai aktivitas fisik serta belajar keterampilan berolahraga.   Jadi pemikiran di atas, menempatkan pendidikan jasmani sebagai satu sumber untuk meningkatkan kebugaran jasmani anak-anak di sekolah.  Selayaknya anak yang mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani memiliki tingkat kebugaran jasmani yang baik.  Namun kenyataannya saat ini, masih banyak anak-anak memiliki kebugaran jasmani yang rendah karena mengalami beberapa persoalan, diantaranya adalah obesitas.
Isu Obesitas Menyebabkan Rendahnya Kebugaran Jasmani
Hasil survei sosial ekonomi nasional, (Susenas 2004)  dalam Nerry A Sani, (2004:2) menyatakan ‘penyebab rendahnya kebugaran jasmani selain pola makan tidak seimbang, kurang serat, kurang sayur, dan kurang buah, juga masalah kegemukan (obesitas)’.  Menelaah penyebab obesitas, pada umumnya berhubungan dengan pola makan tidak seimbang antara aktivitas tubuh dan konsumsi makanan. Orang yang mengalami obesitas,  porsi makannya lebih banyak karena tidak aktifnya hipotalamus.  Hipothalamus adalah bagian otak yang memberi sinyal kenyang sepuluh menit sesudahnya.
Isu Rendahnya Kebugaran Jasmani Anak
Sekarang ini penyakit jantung tidak lagi menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang anak-anak dan remaja sebagai dampak rendahnya kebugaran jasmani di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.  Rendahnya kebugaran jasmani tersebut, terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh tim pengembang Sport Development Index (Mutohir, dan Ali Maksum, 2007: 52) meneliti kebugaran jasmani pelajar di seluruh Indonesia.  Hasilnya tidak ada yang baik sekali atau 0 %, katagori baik hanya 5,66 %, sedang 37,66 %, kurang 45,97 %, dan kurang sekali 10,71 %.   Perihal ini menurut  (WHO 2004)  apabila dapat dicegah lebih awal, maka akan mengurangi angka kematian sebesar 2 juta orang atau 5479 orang yang meninggal dunia akibat penyakit hypokinetik setiap tahunnya. (G. Petersen 2004;2).  Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, sehingga dapat dibayangkan bagaimana produktivitas kerja masyarakat selama ini.  Karena itu, masyarakat perlu didorong untuk melakukan berbagai aktivitas jasmani secara sistematis, dan berkelanjutan.
Isu Pentingnya Kebugaran Jasmani Meningkatkan Kualitas Hidup
Pemerintah Republik Indonesia melalui kerjasama Departemen Kesehatan (Depkes) dengan instansi yang terkait, berupaya menyusun strategi kebijakan pembangunan baru didasarkan pada “Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan dan Kebugaran Jasmani”.   Gerakan ini dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada pembukaan rapat kerja kesehatan nasional Depkes pada tanggal 1 Maret 1999 sebagai sebuah strategi.  Strategi ini merupakan strategi nasional menuju Indonesia sehat 2010 dikenal sebagai paradigma sehat,  yaitu fit for health atau move for health.  Artinya bergerak agar sehat dan bugar.
(Pribakti, 2009:10b).   Program Indonesia sehat 2010 tersebut, menghendaki agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat berperilaku hidup sehat dengan mengoptimalkan lingkungannya untuk mewujudkan masyarakat madani (Civil Society), yaitu masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan.  Jika pembinaan tersebut dibarengi dengan pembinaan bakat olahraga, maka di kemudian hari akan menghasilkan prestasi olahraga.
Isu Kemampuan Mempelajari Gerakan Yang Baru (Motor Educability)
Isu ini berpangkal akibat ketidakpahaman guru tentang hakikat tubuh anak yang sesungguhnya berbeda dengan fisik orang dewasa.  Keadaan ini diperparah lagi adanya perilaku guru cenderung malas dan kurang mencintai tugas itu dengan sepenuh hati,  sehingga dalam memberikan tugas geraknya melanggar prinsip developmentally appropriate practice (DAP), yakni tidak memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak.  Kepada anak diberikan tugas gerak melebihi dari kemampuan fungsional tubuhnya, sehingga untuk mempelajari gerakan yang baru (new motor skill) anak-anak mengalami hambatan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani.
Motor educability menurut Rusli Lutan (1988:115) adalah kemampuan umum untuk mempelajari tugas gerak secara cermat dan cepat. Motor educability juga merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi tingkat penguasaan suatu keterampilan gerak. Jika seseorang memperlihatkan penampilan (performa) dalam menguasai gerakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik, maka orang itu dikatakan memiliki tingkat motor educability yang baik pula. Selanjutnya Rusli Lutan (1988:116) menegaskan bahwa motor educability erat hubungannya dengan koordinasi gerak. Semakin tinggi tingkat motor educabilitynya, maka semakin tinggi pula koordinasi geraknya. Menurut Harsono (1988:220) yang dikatakan koordinasi gerak yang baik, bukan saja mampu melakukan suatu keterampilan secara sempurna, akan tetapi juga mudah dan cepat dalam mempelajari gerakan yang baru (new motor skill). Faktor semacam inilah yang menjadi fukos dalam penelitian ini, karena selain bisa dijadikan pertimbangan untuk menetapkan suatu keterampilan, juga untuk membedakan dan untuk mengelompokkan anak ke dalam  kelompok individu lainnya, baik dalam berolahraga maupun sosial berbudaya serta perilaku berkarakter dalam kehidupan masyarakatnya.